Menelusuri Pameran “Membangun di Lahan Basah” Museum Bahari Jakarta

by - January 26, 2025



Pernah kebayang nggak, sih, gimana bangunan-bangunan di Jakarta yang dibangun pada masa kolonial  bisa berumur panjang padahal dibangun di atas lahan perairan? 

Kota Jakarta, khususnya di bagian utaranya memang memiliki ketinggian tanah yang  sama bahkan ada yang lebih rendah dari permukaan laut. 

Menarik banget kalau kita tahu bagaimana sejarahnya sampai kota pesisir Jakarta bisa berkembang sampai menjadi kota megapolitan seperti sekarang ini. Padahal bisa dibilang Jakarta dibangun di atas lahan basah, kan. 

Ya, inilah yang menjadi tema pada pameran temporer, Membangun di Lahan Basah dari Gudang Barat hingga Museum Bahari 1652-1977.

Pameran ini mengangkat cerita pembangunan di kawasan pesisir utara Jakarta, termasuk sejarah dan transformasi kawasan di mana Museum Bahari berdiri.

Kebetulan Bubu sempat mengunjungi Museum Bahari beberapa waktu lalu dan menyempatkan diri untuk melihat seperti apa pameran Membangun di Lahan Basah ini. 

Pameran ini sendiri menggunakan satu bagian saja dari luasnya bangunan di Museum Bahari Jakarta. Meski demikian, hal yang disajikan sangat menarik, mulai dari maket arsitektur, bahan bangunan, furniture yang ada saat itu, hingga ada juga media interaktif berupa televisi yang menyajikan wawancara dengan beberapa tokoh mengenai tema ini. 


Perjalanan Sejarah di Lahan Basah Jakarta

Memasuki ruang pameran, terlihat warna merah mendominasi ruangan berlangit-langitkan kayu ini. Tampak pula lembaran-lembaran kain menjuntai yang bukan sekedar kain polos penghias dekorasi pameran, tapi ada berbagai gambar menarik yang tercetak, termasuk gambar Museum Bahari  di kain-kain tersebut. 

Tanpa membuang waktu, Bubu pun mulai mengeksplorasi berbagai bagian di pameran ini. 




Jadi, Jakarta awalnya merupakan area rawa-rawa di tepi laut yang terbentuk dari aktivitas geologi seperti letusan gunung berapi dan siklus hujan tropis. 

Material dari gunung-gunung seperti Gunung Pangrango, Gede, dan Salak menciptakan endapan di muara, membentuk lahan subur. Proses yang berlangsung selama ribuan tahun ini menghasilkan pantai-pantai, delta, dan muara sungai. 

Pada akhir abad ke-16, rempah-rempah seperti cengkeh dan pala menjadi komoditas yang sangat berharga di Eropa. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) didirikan oleh Belanda untuk bersaing dengan kekuatan kolonial lain dalam menguasai perdagangan rempah di Asia. 

VOC memiliki hak istimewa, seperti membentuk militer, mencetak uang, dan membangun pemerintahan di kawasan koloninya.

VOC memanfaatkan lokasi-lokasi strategis untuk membangun benteng, pelabuhan, dan jalur perdagangan, seperti Benteng Victoria di Ambon (1605) dan Benteng Oranje di Ternate (1607).

Pada abad ke-17, wilayah ini mulai dikembangkan sebagai pusat perdagangan oleh VOC hingga membentuk kota Batavia yang memiliki posisi strategis.. 

Di Batavia, pembangunan dimulai di sekitar Sungai Ciliwung, yang menjadi tulang punggung transportasi dan ekonomi. Infrastruktur ini termasuk benteng, gudang, dan fasilitas pertahanan.

Nah, pada abad ke-18, sifat lahan basah Batavia mulai berubah drastis karena eksploitasi kolonial. Sungai Ciliwung dijadikan jalur penting untuk transportasi hasil bumi. 



Kota Batavia kemudian dikelilingi oleh tembok besar untuk perlindungan, dengan perumahan, gereja, dan kantor pemerintahan di dalamnya. Infrastruktur seperti grooteboom dan menara pengawasan menandai penguasaan hidrokolonial di wilayah tersebut.

Untuk mendirikan bangunan di lahan berlumpur, Belanda menggunakan teknik pondasi dari cecuruk kayu dan tumpukan karang sebagai penopangnya. 


Membangun di Lahan Basah: Dari Gudang Barat hingga Museum Bahari (1652-1977)

Museum Bahari sendiri merupakan bagian penting dari sejarah pembangunan di lahan basah Jakarta. Terletak di kawasan Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan tua, museum ini dulunya pada masa kolonial adalah gudang penyimpanan rempah-rempah dan pusat perdagangan VOC.

Bangunan ini mencerminkan gaya arsitektur khas era kolonial Belanda, dengan tetap memperhatikan keadaan  iklim tropis di negara ini.

Setelah pendudukan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, bangunan ini tetap menjadi gudang, meskipun sebagian dialihfungsikan untuk kegiatan lainnya. 

Pemugaran besar dimulai tahun 1974 sebagai bagian dari upaya pelestarian kawasan Kota Tua. Warga sekitar memanfaatkan museum ini sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, menghubungkan sejarah dengan komunitas lokal.

Pameran ini menyoroti bagaimana Batavia berkembang dari lahan basah hingga menjadi pusat perdagangan kolonial yang menghubungkan darat dan laut. 



Dalam pameran ini pengunjung juga  diajak untuk mengeksplorasi bagaimana museum ini menjadi saksi bisu perubahan pesisir utara Jakarta, yang tadinya merupakan pusat perdagangan maritim yang sibuk.

Seiring waktu, kawasan ini memainkan peran penting dalam ekosistem kota. Gudang Barat diubah menjadi Museum Bahari pada tahun 1970-an sebagai bagian dari proyek revitalisasi Kota Tua, melestarikan sejarah sambil menciptakan ruang refleksi yang bisa berguna juga untuk generasi yang akan datang.

Melalui foto-foto lama, maket, dan instalasi interaktif, pameran ini menggambarkan perjalanan panjang transformasi kawasan ini.


Aktivitas dan Edukasi dalam Pameran

Cerita Bubu di atas Bubu dapat dari literatur yang Bubu baca di dalam pameran ini, ya. Jadi, nggak hanya ada berbagai benda, gambar saja tapi tentunya juga ada tulisan yang bisa dibaca pengunjung sehingga lebih memahami apa isi dari pameran ini.




Selain menyajikan cerita sejarah, pameran “Membangun di Lahan Basah” juga menghadirkan berbagai aktivitas edukatif. Pengunjung dapat melihat film dokumenter dengan mendengar kisah para nelayan dan penduduk lokal yang hidup di kawasan pesisir.

Pameran “Membangun di Lahan Basah: Dari Gudang Barat hingga Museum Bahari (1652-1977)” berlangsung hingga 22 Juni 2025, ya. Lokasinya di Museum Bahari, Jalan Pasar Ikan No. 1, Penjaringan, Jakarta Utara. 

Tiket masuk ke pameran sudah termasuk dalam harga tiket museum, yang sangat terjangkau untuk semua kalangan.


Tiket Masuk Museum Bahari

Selasa - Jumat

Dewasa: Rp 10.000,-

Mahasiswa/Pelajar: Rp 5.000,-

Wisatawan Mancanegara: Rp 50.000,-


Sabtu - Minggu

Dewasa: Rp 15.000,-

Mahasiswa/Pelajar: Rp 5.000,-

Wisatawan Mancanegara: Rp 50.000,-


Oiya, jam operasional Museum Bahari dari pukul 08.00 – 15.00, buka  setiap hari Selasa hingga Minggu, ya.

Gimana, Manteman tertarik buat ke Museum Bahari dan melihat pameran ini dari dekat? 


Dita Indrihapsari (Bubu Dita)

@rumikasjourney 


Related Posts

0 komentar