Sepenggal Cerita dari Kampung di Utara Jakarta, Pensiunan Guru Penerima Kalpataru yang Terus Menebar Ilmu

by - November 06, 2024



“Dengan penghargaan ini (Kalpataru) justru tanggung jawabnya besar. Harus bisa mereplikasi sehingga semakin banyak masyarakat yang peduli terhadap masalah lingkungan.” 


Matahari sudah mulai beranjak tepat di atas kepala saat saya naik ke lantai atas rumah Bapak Sutarno, pegiat lingkungan di Sunter, Jakarta Utara, yang mendapat penghargaan Kalpataru 2020. 

Teriknya matahari siang itu seperti sirna ketika saya berada di tengah-tengah tanaman yang dirawat dengan baik oleh Bapak Sutarno. Sambil menyiram tanamannya, Bapak Sutarno membagikan secuil kisahnya tentang bagaimana istrinya di rumah bahkan tinggal memetik sayuran saja untuk memasak. 

Saya pun teringat dengan sajian teh hangat di meja tamu yang disuguhkan kepada saya. Di atasnya terdapat daun mint segar yang menambah aroma dan rasa pada teh itu. 

Bapak Sutarno dengan semangat juga menjelaskan kepada saya tentang tanaman-tanaman di atas rumahnya tersebut. Dari mulai tanaman cabai jawa yang bertekstur dan kaya manfaat seperti untuk lambung hingga asam urat, tanaman anggurnya yang panjang merambat dan sudah berbuah, serta sedikit rasa gelisahnya ketika menunjuk tanaman apel yang ada di potnya. Gelisah menanti apakah apel itu akan berbuah di cuaca yang cukup terik ini… 





Rasa kagum saya saat berada di atap rumah ini tidak kunjung berhenti. Ada saja tanaman yang membuat saya selalu berucap, “Waaah…!” Misalnya, saat saya kaget ketika kepala saya hampir menyentuh buah pare yang menggantung. Atau ketika Bapak Sutarno memperlihatkan ada tanaman tarragon! Sepertinya baru kali ini saya melihat bentuk tanaman herbal itu secara langsung.

Ingatan saya pun melayang saat saya mengikuti acara kompetisi masak luar negeri di televisi. Tanaman herbal tersebut memang kerap digunakan di berbagai masakan. Bapak Sutarno pun bercerita memang tanaman tarragon ini berasal dari Perancis dan dipercaya baik untuk kesehatan jantung serta menurunkan gula darah. Banyak manfaatnya! 

Di satu bagian kebun hidupnya ini, saya pun diperlihatkan bagaimana siklus ekosistem berjalan. Dari sebuah kolam ikan berukuran kecil dengan ikan-ikan yang riang gembira hilir mudik ke sana ke mari, disitulah saya melihat ada selang yang menyedot kotoran ikan hingga ke atas dan dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman hidroponik di atasnya.





Tak sampai di situ, aliran air dari tanaman hidroponik di atas pun bisa mengaliri tanaman hidroponik lain yang ada di bawahnya. Sedangkan air dari deretan tanaman hidroponik di bawah itu dapat mengalir ke kolam ikan. Sangat menarik! 


Lahan Terbatas Bukan Halangan

Lahan sempit tanpa halaman seperti kebanyakan rumah di Jakarta ternyata bukan jadi penghalang bagi Bapak Sutarno untuk berkebun. Ia menempatkan tanaman-tanamannya tersebut di wadah ember biopori.

Ya, siapa bilang biopori hanya bisa direalisasikan di tanah halaman? Menggunakan ember dengan di satu bagiannya dipasang paralon dan pemberian beberapa lubang di bagian sisi ember, kita bisa membuat biopori seperti yang dilakukan Bapak Sutarno. 


“Jadi ini di dalam wadah embernya ada tanah dan ada pohonnya. Sedangkan di sebelahnya ada (paralon) untuk tempat sampah masuk. Bagian bawah wadah pohon tidak dilubang, sehingga meskipun ada air sampah, itu nanti akan masuk ke tanah diserap ke atas dan (jadi) nutrisi untuk tanaman. Tidak akan mengotori juga karena tidak ada lubang (di bagian) bawahnya, kan,” jelas Bapak Sutarno.  








Saat melihat wadah biopori ini saya pun sadar kalau siapapun masyarakat tanpa terkecuali bisa mengolah sampah organik rumah tangganya sendiri. Caranya pun cukup sederhana. Tapi bisa berdampak luar biasa pada pendayagunaan sampah organik rumah tangga.

Pembuatan biopori di wadah ini hanya satu cara yang dilakukan Bapak Sutarno untuk mengedukasi masyarakat di RW 01 Sunter Jaya, Jakarta Utara. Selain biopori, ada juga budidaya tanaman hidroponik dengan menggunakan galon minuman yang sudah tidak digunakan sebagai wadahnya. Hal ini tentu saja bisa menjadi jawaban untuk pengendalian sampah plastik.  





Composter, Mengolah Sampah Tanda Aduk, Tanpa Bau, Tanpa Polusi!

Saat saya berbincang dengan Bapak Sutarno, saya juga menangkap kekhawatiran yang dirasakannya terkait sampah makanan rumah tangga yang dihasilkan oleh kebanyakan masyarakat. 

Mestinya sampah-sampah tersebut bisa diolah secara mandiri oleh rumah tangga, tanpa harus berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Kekhawatiran tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Jika melihat data yang ada, saya pun punya kekhawatiran yang sama terhadap masalah sampah makanan organik yang dihasilkan oleh rumah tangga di negara kita ini. 

Menurut laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP), Food Waste Index Report 2024, Indonesia menempati posisi teratas sampah makanan rumah tangga terbanyak di Asia Tenggara yang jumlahnya mencapai 14,73 juta ton per tahun!

Angka ini juga menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat ke-8 tertinggi di dunia untuk urusan sampah makanan! 

Selain itu, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah di TPA sebanyak 60% adalah sampah organik. Padahal sampah organik di TPA dapat menghasilkan gas metana yang berbahaya. Ingatkah tentang peristiwa TPA Leuwigajah di Bandung pada tahun 2005?

Penanggulangan sampah makanan rumah tangga juga jadi concern  Bapak Sutarno di lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia pun juga menggagas pembuatan composter (komposter). 



Apa itu komposter?

Menurut KBBI, komposter merupakan “alat yang terbuat dari tong sampah plastik atau kotak semen, digunakan untuk mengolah semua limbah organik rumah tangga.”

Saat berkunjung ke rumah Bapak Sutarno, saya pun melihat banyaknya tong sampah besar berwarna biru yang ternyata menjadi wadah untuk composting. Composting sendiri merupakan proses alami mendaur ulang bahan organik, seperti daun dan sisa makanan, menjadi pupuk berharga yang dapat menyuburkan tanah dan tanaman.

Dengan composting ini sampah sisa makanan rumah tangga, sisa sayuran, buah, teh hingga kopi bisa bermanfaat dan kembali ke alam. Sampah daun dan rumput pun juga bisa menjadi bahan composting.  


 “Kadang kita sudah memilah sampah tapi masih menyalahkan tukang gerobak sampah (yang mengangkut semua sampah dan menyatukan sampah yang sudah dipilah). Padahal sampah organik rumah tangga mestinya bisa kita olah sendiri tanpa harus diangkut tukang sampah,” ujar Bapak Sutarno mengingatkan. 


Karena itulah di kawasan RW 01 Sunter Jaya juga terdapat deretan tong sampah composter yang digunakan warga sekitar untuk menaruh sampah-sampah organik rumah tangga. 

Menariknya lagi, deretan tong sampah tertutup berisi composting ini diproses tanpa aduk, tanpa bau, dan tanpa polusi!

Saya pun melihat sendiri hasilnya! Ada tong sampah composter yang sudah berubah menjadi pupuk alami. Rasanya saya ingin memberikan tepuk tangan untuk kerjasama yang dilakukan para warga dengan Bapak Sutarno sebagai penggagasnya. 




Mengenal Eco Enzyme untuk Lingkungan yang Lebih Baik

Dari RW 01 Sunter Jaya ini saya pun mendapat ilmu baru tentang eco enzyme. Beberapa bulan lalu, anak saya pernah bercerita kalau di sekolahnya ada pengenalan bagaimana cara membuat eco enzyme. Namun saat itu saya belum tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. 

Nah, barulah ketika saya bertemu Bapak Sutarno, pikiran saya jadi terbuka dan ada rasa penasaran untuk tahu bagaimana eco enzyme bisa berdampak bagi lingkungan. 

Eco enzyme sendiri merupakan cairan alami hasil dari fermentasi sampah organik seperti sisa buah atau sayuran yang dicampur dengan gula (molase) dan air. Air yang digunakan bisa menggunakan air hujan, air pembuangan AC hingga air keran biasa.

Pengolahan eco enzyme dapat menghasilkan produk cairan sabun pembersih serbaguna untuk mencuci baju, piring, bahkan untuk mencuci sayuran dan buah-buahan. 

Selain itu eco enzyme juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanaman. Karena terbuat dari bahan-bahan organik, hasil produknya pun sangat aman. Cairan hasil fermentasi ini mudah terurai  dan tidak berbahaya bagi lingkungan maupun manusia.


“Membuat eco enzyme itu perbandingannya 1 banding 3 banding 10. Jadi 1 gula atau molase, 3 bahan organik dari kulit buah, dan 10 air. Difermentasi selama tiga bulan nanti hasilnya jadi air yang bisa dipakai untuk mandi, cuci piring, bisa juga untuk melancarkan pipa yang macet.”


Di rumah Bapak Sutarno saya juga melihat ada deretan ember yang dijadikan wadah untuk membuat eco enzym dan siap untuk dijual. Ukurannya bermacam-macam, dari yang besar, sedang, hingga yang kecil. 





Utama Composter, Mengubah Sampah Jadi  Bernilai Rupiah!

Mengabdikan dirinya untuk berkutat dengan sampah membuat rumah Bapak Sutarno juga disulapnya menjadi “bengkel” pengolahan sampah, Utama Composter. 



Saya pun diajak Bapak Sutarno untuk melihat langsung bagaimana eco enzyme dibuat di tempatnya. Tanpa ragu, Bapak Sutarno membuka salah satu tong sampah biru di mana terdapat keterangan tanggal di atasnya. Bulan Oktober 2024. Ternyata tong ini masih baru melakukan proses pengolahan sampah organik berupa kulit jeruk. 

Di sebelahnya ada juga tong sampah berukuran sama namun tanggal yang tertera di bulan ke-8, bulan Agustus. Bapak Sutarno pun lalu membuka tong itu dan terlihatlah bagaimana sampah kulit jeruk sudah terlihat berfermentasi.


“Waktu proses eco enzyme sekitar 3 bulan. Ini sebentar lagi di akhir bulan ini sudah bisa menghasilkan enzyme,” terang Bapak Sutarno.  


Nantinya, cairan enzyme yang dihasilkan akan berwarna pekat dan siap untuk dikemas dan dijual. 







Ya, Utama Composter telah mengubah sampah jadi bernilai rupiah! Selain menjadi tempat penyimpanan pembuatan eco enzyme, di “bengkel” ini juga terdapat banyak material bahan daur ulang, seperti galon yang siap untuk diubah menjadi wadah hidroponik. 


“Di sini kami juga kembangkan kalau pilah timbang jual, nilai sampah itu, kan, rendah. Artinya katakan saja 1 kg sampah PET setinggi-tingginya dihargai Rp 6.000. Nah di sini bisa kita kondisikan, kita bisa jual 1 kg di atas Rp 200.000 dengan memproduksinya jadi barang bernilai jual. Caranya bagaimana? Bisa membuat produk untuk penghijauan, bisa untuk alat peraga pendidikan, bisa juga untuk souvenir.” 


Masyarakat di RW 01 Sunter Jaya juga melihat bahwa sampah ada potensi nilai ekonomi. Di kawasan ini juga terdapat bank sampah yang menerima sampah-sampah plastik daur ulang yang dpat dikelola menjadi paving block hingga menerima sampah minyak jelantah. 


Pensiunan Guru, Terus Menebar Ilmu, Hingga Mendapat Kalpataru

Perjalanan Bapak Sutarno dalam merawat lingkungan tidak dalam sekejap mata. Ia telah memulai perjalanan sebagai “guru sampah” sejak tahun 2008. 

Awalnya, ia begitu prihatin dengan kondisi di sekeliling tempat tinggalnya. Apalagi kawasan Sunter juga terkenal sebagai daerah langganan banjir. 


“Banyak orang kota yang masih buang sampah sembarangan, habis makan sampahnya masuk ke got. Jakarta itu kota tapi suasananya nggak bersih. Dari situlah kami coba untuk mengangkat sampah yang ada di got, kami juga pilah-pilah sampah,” ungkap Bapak Sutarno. 


Berjalannya waktu, masyarakat sekitar pun ikut peduli terhadap lingkungan dan mulai mengelola sampah rumah tangganya berkat edukasi dari Bapak Sutarno.  Dengan adanya kepedulian penataan lingkungan, kebersihan got yang tidak lagi ada tumpukan sampah, alhasil daerah ini pun sudah tidak terkena dampak banjir.

Berkat konsistensi masyarakat RW 01 Sunter Jaya dalam mengelola sampah hingga bisa menghijaukan lingkungan, pemerintah pun memberi penghargaan berupa  Kampung Proklim dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2016. 




Kampung Proklim merupakan Program Kampung Iklim, yaitu program nasional yang dikembangkan (KLH) untuk mendorong partisipasi masyarakat dan seluruh pihak dalam melaksanakan aksi dalam meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim dan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.

Menurut Bapak Sutarno pemberian gelar Kampung Proklim di wilayah perkotaan jarang terjadi. Kampung Proklim kebanyakan diperoleh oleh kampung-kampung di pedesaan. Karena itulah RW 01 Sunter Jaya pun menjadi Kampung Proklim percontohan bagi daerah lainnya di perkotaan. 

Bapak Sutarno sendiri sebelumnya berprofesi sebagai seorang guru. Sambil mengajar di sekolah, ia juga mengedukasi soal lingkungan dan sampah. Akhirnya pada 2015, Bapak Sutarno pensiun dini dan setelah itu mengabdikan diri sepenuhnya untuk lingkungan. 


“Jadi kalau dulu, kan,  saya guru dalam ruangan.  Sekarang jadi bisa mengajar di kebun, di PAUD, SMA, universitas, dan pastinya di masyarakat,” kata Bapak Sutarno.


Bapak Sutarno juga bercerita tepat sehari sebelumnya ia bertemu dengan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta. Dalam pertemuan tersebut terdapat pembahasan tentang sampah organik dari hotel, cafe, serta rumah makan yang harus dikelola sendiri dan tidak lagi dibawa ke TPA Bantar Gebang. 


“Saya juga mengedukasi ke pihak hotel dan restoran tentang sampah organik."


Dengan berkurangnya sampah organik yang dibawa ke TPA karena sudah diolah masing-masing, tentunya hal ini akan sangat berdampak positif bagi lingkungan di sekitar TPA dan wilayah Jakarta secara keseluruhan. 

Bapak Sutarno kini tidak hanya mengedukasi masyarakat di tempat tinggalnya saja, tapi ia juga secara konsisten memberikan pembinaan lingkungan di banyak tempat. Bahkan setidaknya ada lima kampung lainnya yang juga menjadi binaan Kampung Proklim RW 01 Sunter Jaya.

Meski sudah pensiun sebagai guru, namun Bapak Sutarno terus menebar ilmu. Pengabdiannya dalam bidang lingkungan juga membuatnya mendapat penghargaan Kalpataru Tingkat Provinsi pada 2016. 

Kemudian di tahun 2017, Bapak Sutarno juga dinominasikan untuk Kalpataru Tingkat Nasional, namun hanya sampai 22 besar saja. Barulah tiga tahun setelahnya atau di tahun 2020, Kalpataru sebagai penghargaan lingkungan hidup tertinggi berhasil diperolehnya melalui kategori Pembina Lingkungan.



Sambil mengobrol dan minum teh mint, saya pun melihat bagaimana penghargaan Kalpataru tersimpan rapi di rumah Bapak Sutarno. Di dinding rumahnya pun berjajar dengan rapi piagam-piagam penghargaan lainnya. 

Bahkan Menteri Lingkungan Hidup juga pernah menyambangi rumahnya ini untuk melihat secara langsung bagaimana RW 01 Sunter Jaya dalam menerapkan pengelolaan sampah di lingkungannya. 



Namun  Bapak Sutarno tidak melihat berbagai capaiannya tersebut sebagai akhir dari perjalanannya dalam merawat lingkungan. 


“Dengan penghargaan ini (Kalpataru) justru tanggung jawabnya besar. Harus bisa mereplikasi sehingga semakin banyak masyarakat yang peduli terhadap masalah lingkungan.” 


Karena itulah hingga saat ini dan nanti, Bapak Sutarno selalu bersemangat untuk berbagi ilmunya tentang mengelola sampah kepada siapa saja. 


Dari Astra Untuk Satu Indonesia Melalui Sunter Jaya

Kepedulian Bapak Sutarno dan masyarakat di RW 01 Sunter Jaya terhadap lingkungan juga mendapat perhatian dari Astra.

Astra memilih RW 01 Sunter Jaya sebagai Kampung Berseri Astra (KBA) pada 2015 berdasarkan beberapa pertimbangan yang sejalan dengan tujuan Astra untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui program-program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berkelanjutan. 

Ketika RW 01 Sunter Jaya menunjukkan inisiatif besar dalam pengelolaan lingkungan, Astra melihat adanya potensi untuk membantu memperkuat gerakan masyarakat ini menjadi lebih terstruktur dan berdampak luas.

Awalnya, RW 01 Sunter Jaya sudah mulai melakukan berbagai upaya untuk mengelola sampah organik dan meningkatkan kesadaran warganya akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. 

Kehadiran Bapak Sutarno sebagai penggerak utama lingkungan di kampung ini membuatnya berhasil membangun dasar yang kuat dalam edukasi lingkungan melalui konsep pengelolaan sampah organik dan daur ulang. 

Dengan adanya sosok seperti Bapak Sutarno, Astra pun dapat mendukung dan memperluas manfaat dari kampung ini melalui program Kampung Berseri Astra.



Melalui dukungan Astra, RW 01 Sunter Jaya tidak hanya menjadi lebih hijau, tetapi juga berperan aktif sebagai kampung yang bisa memberdayakan warganya, menjadi percontohan pengelolaan sampah, serta memotivasi kampung-kampung lain untuk melakukan hal serupa.

Astra melalui Astra Honda Motor (AHM) juga membantu mengoptimalkan Utama Composter, tempat pengelolaan sampah organik yang dirintis oleh Bapak Sutarno, sehingga bisa menghasilkan lebih banyak produk seperti eco-enzym dan pupuk cair, serta membina komunitas lebih lanjut dalam hal pendidikan lingkungan.


“Jadi kita dibantu dari AHM itu berupa pembinaan dan edukasi. Selain itu juga ada pengembangan usaha, branding termasuk promosi,” ujar Bapak Sutarno. 



Branding Utama Composter sendiri memiliki logo bergambar Bapak Sutarno dengan blangkonnya yang khas. Selain itu promosi pun gencar dilakukan, baik secara offline maupun secara online dan telah memiliki pangsa pasarnya tersendiri.

Produk-produk Utama Composter juga disediakan untuk berbagai kalangan, mulai dari paket edukasi untuk anak sekolah, paket perusahaan, dan lainnya. Semua bahan dan alat sudah disediakan, jadi masyarakat yang ingin mengelola sampah organik sendiri tinggal melakukannya dengan konsisten saja. 


Kampung Proklim RW 01 Sunter Jaya telah membuktikan bahwa bahkan di tengah kota metropolitan yang padat, sebuah kampung bisa menjadi lebih hijau, lebih bersih, dan produktif. 

Semua ini tercapai berkat kolaborasi antara masyarakat yang peduli dengan lingkungan, dukungan dari program Kampung Berseri Astra, dan tentunya dedikasi luar biasa dari seorang pensiunan guru seperti Bapak Sutarno.

Dengan melihat keberhasilan Kampung Proklim Sunter Jaya RW 01, kita dapat belajar bahwa tidak ada yang mustahil untuk dilakukan jika ada niat dan usaha. 

Semoga inspirasi dari kampung ini dapat menyebar ke berbagai kampung lain di Indonesia, sehingga lingkungan kita bisa semakin hijau, bersih, dan tentunya lebih sejahtera.


Referensi:

- Wawancara langsung dengan Bapak Sutarno

- Instagram @utamacomposter_sunter

- Instagram @proklim_sunterjaya01

- https://dataindonesia.id/varia/detail/data-jumlah-sampah-makanan-rumah-tangga-negaranegara-di-asia-tenggara

- https://waste4change.com/blog/composting/



Dita Triyuliasih Indrihapsari

https://www.rumikasjourney.com




Related Posts

0 komentar